ESAI 

Tangkai Hari dan Arus Angin Gibra

Oleh Esti Ismawati, guru besar pendidikan bahasa dan sastra

______________________________________________________________________

 

 

ayo, ayo, bergegas pergilah melaut,

sebab perahu-perahumu akan melaju

bersama camar yang menari-nari.

Di sana sudah menunggu labirin arus

yang tumbuh dari gairah bulan.

 

 

tapi sayang, kini sesudah pecah ombak ketiga di lain waktu

kutemukan pantai-pantai dirundung limbah kota

yang tak pernah lelap

(Ibrahim Gibra, “Ombak Ketiga yang Liyan”, 2023)

 

 

Tangkai Hari dan Arus Angin adalah buku kumpulan puisi karya Profesor Ibrahim Gibra terbaru yang terbit bulan Desember tahun 2023. Untuk yang kedua kalinya saya menikmati puisi-puisi Ibrahim Gibra setelah tahun 2021 saya tulis artikel bertajuk “Sajak-sajak Maritim Ibrahim Gibra: Kajian Wacana Kritis Norman Fairclough” yang termuat dalam buku menulis bareng Anoegrajekti, N. et al, 2021 berjudul Sastra Maritim yang diterbitkan oleh PT Kanisius Yogyakarta.

 

Ibrahim Gibra adalah nama pena Profesor Gufran Ali Ibrahim, mantan Kepala Pusat Pengembangan Bahasa Badan Bahasa Kemendikbud, dosen dan mantan rektor Universitas Khaerun Ternate. Sudah lama Sang Profesor menuliskan dunianya, dunia maritim, dalam sajak-sajaknya yang tak terhitung jumlahnya. Sajak-sajak yang ditulisnya menunjukkan kepada kita akan kecintaan dan keindahan dunia maritim, sajak-sajak yang senantiasa mengingatkan kita akan sebuah lagu (yang kuhafal dari Ibuku tahun 1960-an) bahwa “nenek moyangku (memang) orang pelaut (yang) gemar berlayar (di) luas samudera, tak pernah gentar (dan) tak pernah takut, menantang ombak sudah biasa”.

 

Sajak maritim yang saya maksud adalah sebuah terminologi untuk puisi atau sajak-sajak yang bicara tentang dunia maritim, tentang dunia kepulauan, tentang dunia kelautan dan aneka diversifikasinya; tentang puisi yang bercerita mengenai ombak, pantai, cadik, perahu, sampan, arus, angin, bau karang, kepak sayap camar, kerapu yang leha-leha di teras lahang, bubu, pelagis, dan kawan-kawannya.

 

Hingga detik ini kita masih bermimpi indah dan masih setia bercita-cita menjadikan negri kita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Mungkinkah? Bisakah? Mampukah? Pertanyaan yang sangsi dan menyangsikan ini terus terngiang di tengah carut-marut kehidupan bangsa dengan kebijakan yang -kata anak-anak generasi Z- mbolak-mbalik, ngalor-ngidul, enggak ada blue-print, tidak jelas, tidak nyambung, tidak konsisten, tidak serius (hanya hangat-hangat tai ayam) saja ketika pemerintah atau tepatnya penguasa di negri ini berkehendak mencanangkan mimpi itu (Kominfo, 2016).

 

Jika kehendak itu terus-menerus dibreak-down, dipihaki, di-serius-i, tak mustahil impian indah itu menjadi kenyataan. Mengapa? Indonesia kita ini merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk menjadikannya sebagai Poros Maritim Dunia (Kominfo, 2016). Poros Maritim Dunia maksudnya menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia dengan sektor maritim sebagai tulang punggung utamanya.

 

Tulisan ini adalah sebentuk support untuk terwujudnya negeri maritim Indonesia yang tata titi tentrem, gemah ripah lohjinawi kerto raharjo. Negeri yang tenang, damai dan tertib dengan pemerintahan yang berpegang teguh pada kaidah yang berlaku, negeri yang indah dan subur makmur dengan sandang pangan dan papan yang murah terjangkau rakyat kecil seperti petani dan nelayan.

 

Justru karena mimpi itulah kita mengapresiasi hadirnya karya seorang sastrawan negeri maritim yang membawa suara pantai, laut, ombak, arus, angin, serta camar dan menjadikannya “sumber yang selalu memberi hidup, ingatan, dan tantangan” (Gibra, 2023) dalam bentuk puisi.

 

Ada Apa dengan Puisi?

Dipandang dari segi bangunan bentuknya, puisi adalah pemakaian atau penggunaan bahasa yang intensif karena minimnya kata yang digunakan dan padatnya struktur yang dimanipulasi (Ismawati, 2013). Justru karena itulah puisi berpengaruh kuat dalam menggerakkan emosi pembaca karena gaya penuturannya dan daya lukisnya. Bahasa puisi lebih padat, lebih indah, lebih cemerlang, dan lebih hidup (compressed, picturesque, vivid) daripada prosa atau percakapan sehari-hari (Mustopo, 1983; Ismawati, 2013). Bahasa puisi menggunakan lambang-lambang metaforis dan bentuk-bentuk intuitif lain untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, dan emosi, oleh karena puisi senantiasa menggapai secara eksklusif ke arah imajinasi dan ranah (domain) emotif dan artistik.

 

Puisi merupakan bahan renungan tentang kehidupan, terlebih kehidupan di dunia maritim, sangatlah tepat dan relevan karena puisi bersifat koekstensif dengan hidup yang berarti berdiri berdampingan dalam kedudukan yang sama dengan ‘hidup’ yakni sebagai ‘pencerminan’ dan kritik atau interpretasi terhadap ‘hidup’. Puisi bukanlah cermin kehidupan dalam arti denotatif karena puisi tidak semata-mata mereproduksi bayangan suatu kehidupan melainkan refleksi yang sarat dengan makna kehidupan.

 

Secara aktual, apa yang dinyatakan penyair di dalam puisinya dapat merupakan analogi, korespondensi, atau cermin alam lahir (external nature). Dalam puisi ‘cermin’ tidak semata-mata merefleksikan alam lahir itu, karena ‘alam’ di dalam puisi juga mencakup intelegensi manusia, perasaannya, dan cara atau aktivitas manusia melihat dirinya.

 

Puisi dan Pengalaman Hidup Manusia.

Perekaman dan penyampaian pengalaman dalam puisi (vicarious experiences), pengalaman perwakilan. Manusia senantiasa ingin memiliki salah satu kebutuhan dasarnya untuk menghidupkan pengalaman hidupnya dari sekedar pengalaman langsung yang terbatas. Dengan ‘pengalaman perwakilan’ itu puisi dapat memberikan kepada kita (siswa, mahasiswa, dosen, guru, atau siapa saja) kesadaran, insight, wawasan yang penting untuk dapat melihat dirinya sendiri dan masyarakat sekelilingnya.

 

Pendekatan terhadap ‘pengalaman perwakilan’ itu dapat dilakukan dengan suatu kemampuan yang disebut ‘imaginative entry’, yaitu kemampuan menghubungkan pengalaman hidup sendiri dengan pengalaman yang dituangkan penyair dalam puisinya (Mustopo, 1983; Ismawati, 2013). Puisi mempunyai kekuatannya sendiri dalam memperluas pengalaman hidup aktual dengan jalan mengatur dan mensintesekannya.

 

Pengalaman yang melayani kebutuhan universal manusia untuk memperoleh pelarian dan obat penawar dari beban kesibukan hidup dapat ditemukan ketika kita menikmati puisi. Pengakuan Pak Jujun (Prof. Dr. Ir. Jujun S. Suriasumantri,M.Sc), mantan Direktur Program Pasca sarjana IKIP Jakarta  dalam puisi yang mungkin mewakili sebagian dari kita berikut ini:

 

“Sering dalam kesibukan keseharian, kita melupakan istirah,

melonjorkan kaki dan menghembuskan nafas panjang :

tenteram dalam diam.

 

Sering dalam puncak kebosanan,

kita ingin melakukan sesuatu yang lain. Agar tak rutin,

agar tak kering. Seperti menertawakan diri sendiri.

 

atau orang-orang sekeliling.

 

Dan dalam kekerasan kehidupan kadang kita rindukan

kelembutan. Desir angin, gemericik hujan;

tangan ramah menjamah kepala yang basah

 

dengan usapan yang intim

 

Dan untuk merekalah sajak-sajak ini dipersembahkan:

 

sebab puisi adalah penjelajahan yang tak kenal henti

sebab puisi adalah teman seperjalanan yang mengerti

sebab puisi adalah mata dan kata hati

 

dunia kita yang paling pribadi.

 

Yang mematut kehidupan kita menjadi lebih bermakna

dan menjadikan kita lebih manusiawi”

 

Jakarta, Festifal Student’s Day, Wisuda Semester Gasal 2000.

   

Puisi dan Kehidupan Manusia Bahari

Dengan membaca puisi-puisi maritim kita diajak untuk dapat menjenguk hati dan pikiran manusia bahari. Hal ini dimungkinkan karena melalui puisi maritim penyair menunjukkan kepada pembaca bagian dalam dari hati manusia bahari. Ia menjelaskan pengalaman yang mungkin saja dialami setiap orang, mungkin mengenai topeng yang dipakai dalam kehidupan nyata, atau berbagai peranan yang diperankan orang dalam menampilkan diri di dunia atau lingkungan masyarakatnya.

 

[2] ayo, ayo, bergegas pergilah melaut

 sebab perahu-perahumu akan melaju

bersama camar yang menari-nari. Di sana sudah menunggu labirin arus

yang tumbuh dari gairah bulan.

 

[3] tapi sayang, kini sesudah pecah ombak ketiga di lain waktu

kutemukan pantai-pantai dirundung limbah kota

yang tak pernah lelap

(Ibrahim Gibra, “Ombak Ketiga yang Liyan”, 2023)

 

Dari puisi ini kita mengenal elan, semangat manusia Bahari mengarungi hidupnya. Dari puisi ini juga ada sindiran bagi manusia kota yang suka buang limbah sembarangan setiap saat hingga Pantai tak lagi permai. Dari puisi-puisi hahari lainnya kita mengenal alat transportasi yang digunakan masyarakat setempat, dan ini penting untuk kita yang akan mengenal mereka lebih dekat (wisata sastra), baik dalam kapasitas pribadi maupun tugas resmi. Banyak kata khas yang nanti akan kita temukan manakala kita menyelami kehidupan saudara-saudara kita di kepulauan nun jauh dari tempat kita sekarang.

Untuk memberi sedikit gambaran mengenai alat transportasi sungai, saya nukilkan tulisan Nafisah (2021) mengenai perbedaan rakit, sampan, perahu, dan cadik, kosakata yang sangat akrab dengan puisi-puisi Gibra. Rakit atau getek adalah alat transportasi sungai yang berupa susunan benda yang bisa mengapung di air. Biasanya yang digunakan adalah bambu berukuran panjang. Ciri khas rakit adalah ia bentuknya datar dan tidak memiliki lambung seperti perahu atau kapal. Selain itu ia juga digerakkan melalui seutas tali.

Sampan adalah salah satu jenis perahu. Perbedaannya, sampan lebih sederhana dan cenderung memiliki dasar yang lebih datar. Hal ini berbeda dengan perahu yang dasarnya lebih cekung.

 

Perahu adalah alat transportasi sungai yang paling dikenal. Kebanyakan dari kita menyebut transportasi air dengan perahu. Sebenarnya perahu adalah kendaraan air sederhana. Perbedaanya adalah perahu memiliki lambung pada dasarnya. Perahu juga bisa digerakkan dengan berbagai cara. Ada perahu yang didayung, perahu yang menggunakan layar, ada yang menggunakan baling-baling, hingga jet air. Tentunya berbeda alat penggerak, kecepatan perahu juga berbeda. Misalnya dengan baling-baling perahu akan lebih cepat daripada didayung.

 

Jukung dikenal juga sebagai cadik atau perahu kecil. Ia biasa digunakan nelayan tradisional untuk mencari ikan. Di Kalimantan jukung ini digunakan sebagai alat transportasi sungai dan juga digunakan sebagai tempat berdagang di Pasar Apung. Di Palembang jukung sedikit berbeda. Jukung di Palembang berukuran sedang dan digerakkan dengan mesin. Perahu jukung digunakan di sungai Musi untuk mengangkut orang yang ingin menyebrang (Nafisah, 2021).

 

 

Puisi-puisi Melankolis

 

Entah kenapa puisi-puisi di buku Tangkai Hari dan Arus Angin ini banyak yang bernada sendu, tapi memang Gibra sendiri (dalam pengamatan saya) termasuk penyair yang romantic. Secara gampang kita dapatkan puisi-puisi Gibra bernada romantic di buku ini, misalnya:

 

Rindu Lelaki Laut di Kole-kole

 

sore ini

pada rindang ketapang

aku melihat angin utara mengirim bangau pulang ke dangau

 

itu sayap-sayap

menerbangkan cinta arus pada laut

cinta angin pada riak

cinta ombak pada pantai

 

dan malam ini kulihat purnama pecah di tepi ombak

 

Di Pelabuhan Itu

 

entah sudah berapa kali kau menikmati nasijaha

dan cakalang bakar di pantai Falajawa

 

entah sudah berapa kali sauh itu berkabar

tentang Perempuan yang singgah di Pelabuhan itu

 

 

Kesetiaan Arus pada Laut

 

berulang aku ke pantai ini

yang kutemukan

arus selalu setia pada lau

 

pagi ini

ketika usia melupa waktu

aku cemburu:

bisakah arus mengajariku keberanian

meski hanya untuk meyakinkan

 

 

Judul-judul Puisi yang Menghanyutkan

 

Keunikan lain dari buku puisi Tangkai Hari dan Arus Angin juga terletak pada judul-judul yang dipilih oleh penyair flamboyant ini misalnya:

 

Daun-daun yang Menerbangkan Angin pada galibnya, anginlah yang menerbangkan daun-daun, tetapi tidak pada pilihan diksi Gibra. Ia memutar nalar itu sehingga keadaannya bisa berbalik arah. Mestinya kan angin yang menerbangkan daun-daun. Pada judul lain misalnya Daun Jatuh Tak Tergesa-gesa, Gibra sengaja mempermainkan rasa / perasaan orang yang sedang menatap daun yang jatuh. Pada galibnya daun yang jatuh itu akan cepat sampai ke bumi karena dia sudah layu, berat, dan ditambah adanya gravitasi bumi seperti kata Newton. Contoh lain seperti Tuhan sedang Melipat Segala Rahasia, juga menimbulkan rasa ingin tahu yang lebih dalam lagi akan rahasia Tuhan itu, dan untuk menggambarkan kesepian yang memagut penyair menggunakan kalimat Sampan yang Sepi, Cadik yang Diam.

 

Gairah Relasi Cinta Purba

 

Marilah kita nikmati puisi berikut ini:

 

Rumah 36

tetapi aksara terpukul di sini

sebab ia kehilangan keberanian

sebelum menjadi kata

huruf-huruf cuma

tanda yang diam

di teras rumah tiga enam

ada rinai hujan di antara kita

 

Desember 1988

(Ibrahim Gibra, Rumah 36, Tangkai Hari dan Arus Angin, 2023)

 

Boleh jadi, peristiwa di bulan Desember tahun 1988 yang kelihatnnya tragis, perih dan penuh air mata ini adalah berkah berkepanjangan untuk puisi-puisi Ibragim Gibra dalam buku puisi Tangkai Hari dan Arus Angin, buku kumpulan puisi Profesor Ibrahim Gibra teranyar ini. Meskipun penulis mengaku hanya “meletakkan peristiwa alam dan kultural itu ke dalam relasi kegairahan hidup” toh mustahil kan, ada asap tanpa ada api? Apa yang terjadi ketika peristiwa:

 

di teras rumah tiga enam

ada rinai hujan di antara kita

 

Karena dari sinilah peristiwa demi peristiwa cinta itu lahir. Misal dalam puisi-puisi berikut:

 

Tentang Sebaris Puisi yang Tak Bisa Melautkan Sebongkah Rindu

Di Pelabuhan Ini Angin Pun Diam

Di Mana Angin Laut Menyimpan Kenangan

Dari Pelajaran Dua Laut Bertemu

Ombak di Dada Ini pun Menderu

Gugur Daun Capilong di Pantai Taduma

Ini Musim Gugur Daun Ketapang

 

Kata-kata rindu, diam, kenangan, menderu, musim gugur, adalah kata-kata yang romantic sekaligus penanda bagi orang yang sedang jatuh cinta, dan tentu Gibra berhak untuk mengenang masa-masa indah dimana kita juga pernah melaluinya. Bahkan Chairil Anwar yang mengaku “binatang jalang” pun bisa mengucapkan keindahan romantisme remaja dalam puisi terjemahan yang saya hafal berjudul Huesca. Angin bangkit ketika senja, ingatkan daku musim gugur akan tiba. Aku cemas kehilangan kau, Aku cemas pada kecemasanku. Di batu penghabisan ke Huesca. Di batas terakhir dari kebanggaan kita. Kenanglah sayang, dengan mesra. Kau kubayangkan di sisiku ada. Segitunya? Iya, segitunya yang namanya cinta hehe.

 

 

Referensi

  • Anoegrajekti, N. et al, (2021). Sastra Maritim. Yogyakarta: PT Kanisius.
  • Gibra, Ibrahim (2023). Tangkai Hari dan Arus Angin Sehimpun Puisi. Yogyakarta: Diva Press.
  • Ismawati, E. (2021). “Sajak-sajak Maritim Ibrahim Gibra: Kajian Wacana Kritis Norman Fairclough” (dalam Anoegrajekti, N. et al, 2021. Sastra Maritim. Yogyakarta: PT Kanisius).
  • Ismawati, E. (2013). Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak.
  • Kemenko Maritim dan Sumber Daya (2016). Kenalkan dunia maritim semenjak dini.
  • Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (2021).
  • Kominfo, (2016). Menuju Poros Maritim Dunia. Jakarta: Kemenerian Informasi dan Komuni kasi.
  • Nafisah, Sarah (2021). Macam-Macam Transportasi Sungai di Daerah, Mulai dari Rakit Hingga Jukung Palembang
  • https://bobo.grid.id/read/082498003/macam-macam-transportasi-sungai-di-daerah-mulai-dari-rakit-hingga-jukung-palembang?page=all

 

 

Biodata

Prof. Dr. Esti Ismawati  adalah Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Widya Dharma. Gemar berpuisi, traveling, dan mengaji. Rumah di Perum Griya Prima Timur I Nomor 5 Klaten, Jawa Tengah.

 

 

Related posts

Leave a Comment

10 − six =